Selasa, 15 Desember 2009

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA BANJIR

Ada dua faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya banjir di Wilayah Provinsi DKI Jakarta. Yakni, faktor alam dan faktor manusia:

1. Faktor Alam:

  • Secara geografis, Kota Jakarta yang luasnya mencapai 650 Km2 itu, 40 persen atau sekitar 24.000 Ha di antaranya, merupakan dataran rendah utamanya di daerah Jakarta Utara seperti di Sungai Bambu, Papanggo, Warakas, dan lain-lainnya yang ketinggiannya berada di bawah muka air laut pasang. Daerah-daerah tersebut di atas, yang telah berhasil ditanggulangi baru sekitar 9.000 Ha.

  • Di wilayah Provinsi OKI Jakarta, melintas 13 sungai (Kali Cakung, Jati Kramat, Buaran, Sunter, Cipinang, Kali Baru Timur, Ciliwung, Kali Baru Barat, Krukut, Grogol, Pesanggrahan, Angke, dan Kali Mookervart), yang keseluruhannya merupakan saluran sekunder/penghubung sistem drainase kota.

  • Kontur wilayah Provinsi DKI Jakarta pun kurang mendukung kelancaran aliran air, sehingga menimbulkan genangan dan bahkan pada saat musim hujan mengakibatkan banjir terutama di Wilayah Jakarta Barat, Utara, dan Timur, karena air tidak dapat mengalir secara gravitasi.

2. Faktor Manusia:

  • Harus diakui bahwa, disiplin dan kesadaran masyarakat Ibukota terhadap kebersihan dan kelestarian lingkungan masih rendah. Tak sedikit warga yang menjadikan bantaran kali sebagai tempat tinggal/bermukim. Akibatnya, karena adanya bangunan-bangunan liar, badan kali menjadi berkurang, Dan yang sangat memprihatinkan, mereka pun menjadi sungai sebagai tempat sampah, sehingga terjadi pendangkalan dan sampah mengonggok di sepanjang aliran sungai.

  • Pembangunan yang berlangsung pesat baik di Wilayah Provinsi DKI Jakarta maupun di Depok dan Bogor Jawa Barat, yang menghadirkan rumah dan bangunan beton lainnya yang menutup permukaan tanah dan menyulitkan air meresap ke tanah, telah mempersempit luas kawasan resapan air. Akibat­nya, air hujan yang turun di daerah hulu, yang volumenya seringkali berada di atas kapasitas alur sungai, meluap dan menimbulkan banjir dan gena­ngan di kawasan sekitar sungai.

  • Bersama itu, juga telah terjadi penurunan permukaan tanah (land subsidence) terutama di bagian utara wilayah DKI Jakarta. Dengan demikian, ke depan, kawasan yang tergenang pasang air laut besar kemungkinan akan bertambah, yakni kawasan yang tergenang, seperti Muara Angke dan kawasan Jakarta Utara sebelah Timur


PRINSIP DASAR

PENGENDALIAN BANJIR

Pemerintah Republik Indonesia (Rl), bersama Konsultan dari Belanda Nedeco, pada tahun 1973 telah menetapkan Rencana Induk Pengendalian Banjir yang isinya mencakup:

1. Sungai-sungai yang masuk ke wilayah DKI Jakarta ditangkap dan dirubah alirannya, agar tidak melewati tengah kota, tetapi mengelilingi kota Jakarta baik ke bagian Barat maupun bagian Timur dengan pembangunan Banjir Kanal;

2. Untuk aliran sungai-sungai yang tidak tertangkap oleh Banjir Kanal, dibangun saluran pengendali banjir (flood way/Main Drain) baik di Bagian Barat maupun Bagian Timur Jakarta;

3. Saluran-saluran drainase yang terletak di daerah-daerah dengan ketinggian yang cukup, pengaliran-nya menggunakan system mengalir ke tempat yang lebih rendah (gravitasi);

4. Untuk daerah-daerah yang permukaannya rendah, system pengeringannya (drainasenya) dengan system Waduk dan Pompa (Polder), Waduk-waduk tersebut berfungsi antara lain sebagai penampungan air, pengendali banjir, pengolah limbah, dan rekreasi;

5. Di daerah dataran tinggi (hulu), untuk menghambat laju aliran daerah daerah hulu, dilakukan konservasi alam dan memperbanyak pembangunan situ-situ sebagai tempat penampungan (retensi) air.


PEMAHAMAN DALAM MENGHADAPI BANJIR

Seluruh daerah rendah di Provinsi DKI Jakarta telah padat diisi orang, sehingga untuk melakukan pengelolaan banjir diperlukan peran serta mereka. Namun dengan adanya perubahan iklim yang belakangan ini semakin tajam, bukan tidak mungkin intensitas hujan menjadi semakin tinggi, dan hujan menjadi hujan tempatan sehingga peran serta masyarakat sangat diperlukan.

Untuk mengantisipasi ancaman banjir dan menekan akibatnya, diperlukan pemahaman masya­rakat atas kejadian banjir sekaligus pengelolaan yang diperlukan untuk menghadapinya. Yaitu pemahaman atas pengelolaan (pengendalian) banjir.

Pemahaman seluruh lapisan masyarakat dalam upaya penanganan banjir mencakup tiga prinsip pokok yang kesemuanya memerlukan kerjasama yang erat antara masyarakat, dunia usaha dan pemerintah dengan seluruh aparatnya termasuk TNI dan Polri.

Ketiga prinsip pokok penanganan masalah banjir tersebut meliputi:

1. Masyarakat, Dunia Usaha, dan Pemerintah yang dalam keberadaannya merupakan Domain;

2. Perlu adanya hubungan yang sinergis di antara Masyarakat, Dunia Usaha, dan Pemerintah dan;

3. Perlu adanya kesamaan pemahaman, pengertian, dan 'bahasa' keterpaduan langkah di lingkungan Masyarakat, Dunia Usaha, dan Pemerintah.

Konsep yang harus dikembangkan adalah memadu-serasikan upaya konservasi sumber daya air dengan pengendalian banjir, sehingga dicapai solusi berkelanjutan.


UPAYA MENGATASI MASALAH BANJIR

Ada dua jenis pendekatan pengendalian banjir yang perlu dilakukan. Yang pertama adalah pende­katan pendekatan non struktural dan kedua pendekatan struktural:

1. Penanganan secara non struktural (non fisik) meliputi;

  • Pengembangan system Peringatan Dini Bahaya Banjir (melalui Unit Telemetry dan Pos Piket Radio Pemantau Banjir)
  • Penyediaan bahan yang dibutuhkan saat pengung­sian dan peralatan penanganan darurat akibat banjir (pompa, dump truk, perahu karet, dan lain-lainnya)
  • Persiapan masyarakat dalam menghadapi banjir.

2. Penanganan secara struktural (fisik) yang meliputi;

  • Normalisasi/optimnalisasi dan penataan sungai/ banjir kanal
  • Perbaikan, perkuatan tanggul/tebing sungai dan banjir kanal
  • Pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) dan Banjir Kanal Barat (BKB)
  • Pembangunan system pompa/system polder
  • Pembangunan Waduk Ciawi
  • Rehabilitasi situ-situ.


KESIAPAN MASYARAKAT JAKARTA

Pada kondisi terterntu diperlukan kesiapan masyarakat dalam mengantisipasi datangnya penyebab banjir.

Tingkat Keluarga:

· Mengatur meletakkan barang-barang berharga di tempat yang tinggi agar tidak terkena banjir;

· Mengepak barang-barang berharga, sehingga siap dan mudah untuk diangkat/dibawa anggota keluarga dalam rangka mengungsi akibat banjir ke tempat pengungsian yang telah disediakan Pemprov DKI Jakarta;

· Memberikan tanda pengenal barang-barang tersebut, agar tidak tertukar dengan barang-barang milik keluarga pengungsi lain;

· Mengatur pembagian tugas untuk membawa dan mengamankan barang-barang tersebut bagi semua keluarga, bila banjir mendadak datang;

· Mengatur pembagian tugas untuk mematikan, kran air, mengunci pintu, dan lain-lainnya sebelum me­ngungsi;

· Memberitahukan jalan pintas untuk menuju lokasi tempat pengungsian kepada segenap anggota keluarga;

· Melakukan latihan sendiri di tingkat keluarga.

Sementara itu melalui RT/RW, Lurah dan Kecamatan, ditentukan lokasi pengungsian dan persiapan areal dalam pengungsian, seperti Pertolongan Pertama pada Kecelakaan (P3K), Dapur Umum, serta penyiapan kapal/rakit pengangkut.

Selain menimbulkan kerugian yang besar, bencana banjir seringkali juga menimbulkan trauma yang berkepanjangan apabila sebelum banjir, para penghuni daerah rawan banjir dapat mempersiapkan diri, tentu keru­gian yang timbul akan berkurang.


PERINGATAN DINI BANJIR

Oleh karena itu, untuk mengurangi dampak dari musibah banjir, diperlukan adanya mekanisme peringatan dini banjir. Berikut adalah adalah langkah-langkah yang harus dilakukan dalam menghadapi banjir :

· Koordinasi di tingkat Rumah Tangga, kemudian di tingkat RT, dan disusul koordinasi di tingkat RW, berlanjut ke tingkat Kelurahan dan Tingkat Kecamatan;

· Tempat lokasi pengungsian; Koordinasi dengan Satkorlak:

Peringatan Dini Banjir (Early Warning System), merupakan suatu upaya untuk mengingatkan masyarakat di suatu tempat bahwa banjir akan segera datang. Peringatan dini ini dilakukan melalui:

1. Cara non teknis, dengan mengamati gejala yang ditunjukkan lingkungan alam;

2. Cara teknis dengan jalan melakukan pembacaan muka air genting di suatu pos pengamatan.


· Cara Non Teknis menentukan akan terjadi banjir :

Cara Non Teknis menentukan akan terjadi banjir adalah melalui pengamatan atas peristiwa-peristiwa yang tidak terjadi setiap hari. Misanya dengan cara memperhatikan gejala-gejala alam seperti banyak semut atau serangga atau serangga lain yang takut air, keluar dari dalam tanah untuk mencari tempat yang lebih tinggi.


· Cara Teknis melalui pernbacaan tinggi muka air genting di Pos Pengamat :

Melalui studi hidrologi, dapat ditentukan muka air genting di suatu tempat, yang bisa dipakai sebagai pengingat akan terjadi banjir di tempat lain yang berjarak 3 sampai 6 jam dari tempat pengamatan muka air itu. Untuk Kali Ciliwung, misalnya, pos pengamat yang dipakai adalah di Depok (6 jam) dan yang di Katulampa (3 jam). Sehingga dengan cepat dapat dikhabarkan ke Jakarta bahwa banjir akan tiba 6 dan 3 jam kemudian, bila di Depok dan Katulampa dibaca muka air, jumlah aliran sungai dan kecepatan aliran di tempat genting tersebut dan di lokasi Pintu Air di Jakarta di sungai yang sama. Jarak antara lokasi pengamatan dan lokasi Pintu Air pun harus diketahui. Peringatan BanjirCiliwung, melalui pengamatan air.


(Tujuh) Lokasi Pos Pengamat penting untuk mengingatkan banjir yang akan datang di Jakarta:

1. Kali Angke hulu di Ciledug. untuk Pintu Air (PA) Cengkareng Drain, dengan waktu tempuh 4 jam;

2. Kali Pesanggrahan di Sawangan, untuk PA Manggarai, dengan waktu tempuh 4,5 jam;

3. Kali Krukut Hulu di Ciganjur, untuk PA Karet, dengan waktu tempuh 4 jam;

4. KaliCiliwung di Depok, untuk PA Manggarai, dengan waktu tempuh 6 jam;

5. Kali Ciliwung di Katulampa, untuk PA Depok, dengan waktu tempuh 3 jam;

6. Kali Cipinang Hulu di Cimanggis, dalam waktu 4,5 jam sampai di PA Pulogadung;

7. Kali Sunter Hulu di Pondok Ranggon, dengan waktu tempuh 4,5 jam sampai di PA Pulogadung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar