Selasa, 15 Desember 2009

Sadap Menyadap

Kasus korupsi di Indonesia dewasa ini telah menjadi santapan kita sehari-hari, dimana berita-berita tersebut telah menghiasi di media elektronik dan cetak. Dari kasus yang dahulu hingga saat ini berhasil diungkap oleh KPK. Banyak dari masyarakat awam sangat kagum akan kinerja KPK terlebih lagi bekerja selayaknya detektif di film-film barat. Technology mutakhir banyak mereka gunakan untuk mendukung kinerja mereka dimana yang sekarang menjadi sorotan adalah teknik penyadapan. Dari sekian kasus terus terlebih lagi kasus-kasus korupsi yang merebak dewasa ini banyak terjerat karena pembicaraan telepon antar tersangka korupsi tersadap oleh KPK. Penyadapan tersebut membuat kita orang awan takut untuk berinteraksi dengan para birokrat karena takut pembicaraan mereka disadap, juga para birokrat pun demikian. Sekarang ini yang menjadi sorotan apakah penyadapan tersebut sesuai dengan hak asasi manusia, karena penyadapan tersebut banyak terjadi pembicaraan yang sangat pribadi dimana hal tersebut sering dikeluarkan ke public. Penyadapan masih menyisakan beberapa permasalahan hukum. Selain masalah otentisitas suara, persoalan keabsahan dan dasar hukum penyadapan juga merupakan hal belum terselesaikan. Persoalan ini dilatarbelakangi belum lengkapnya hukum acara yang mengatur mengenai penyadapan. Sampai saat ini hanya UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) yang secara eksplisit mengatur mengenai penyadapan ini. Boleh dikatakan apa yang dilakukan KPK sekarang ini sebagai suatu “penjebakan”.Bolehkan KPK melakukan ”penjebakan”?. Mengingat penjebakan dapat dianggap melanggar hak asasi manusia atau hak privasi seseorang. Maka itu definisi penjebakan sendiri oleh sesama penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan advokat serta KPK) sering menimbulkan multi interpretasi. Pertanyaan lainnya apakah pemberantasan korupsi cukup hanya memberi kesan positif menyadap seseorang yang diduga terlibat korupsi? Tentu tidak. Dalam skala penegakan hukum, penyadapan sebagai taktik penangkapan terhadap pelaku korupsi, dimana haruslah memberikan rasa keadilan, terutama keadilan sesuai harapan masyarakat. Penyadapan terhadap pembicaraan yang belum pernah ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka korupsi, sadar atau tidak, telah mengundang pertanyaan publik tentang independensi dan professional serta motif KPK. Karena, publik melihat bahwa pebisnis yang sampai disadap, yang bersangkutan belum pernah ditetapkan sebagai tersangka. Pertanyaan yang muncul, mengapa pembicara, mendapat perlakuan hukum yang luar biasa?. Dalam kasus kali ini misalnya, KPK telah memiliki argumentasi hukum yang menjelaskan mengapa KPK harus menyadap telepon. Pertanyaannya, apakah semudah itu cara memperlakukan seseorang yang notabena bukan koruptor?. Argumentasi KPK seperti ini belum tentu bisa diterima dan dicerna oleh masyarakat awam yang pola pikir dan pola pandangnya masih dibayangi pengalaman masa lalu tentang adanya diskriminasi hukum. Soal penyadapan terhadap seseorang, kita tidak bisa menuduh KPK telah melakukan diskriminasi. Tapi perlu dingingatkan pimpinan KPK bahwa diskriminasi merupakan ancaman terbesar bagi upaya pemberantasan korupsi di Republik ini. Pengalaman menunjukkan bahwa hukum begitu ampuh menjerat orang kecil dan lemah, tetapi tidak berdaya menghadapi kaum borjuis.KPK yang diharapkan menjadi buldoser penumpasan korupsi, diharapkan oleh banyak orang memiliki kepekaan akan ancaman kekuatan koruptor. Bila lembaga itu terjebak pada pola-pola penegakan hukum cara lama yang sudah terbukti gagal, maka harapan untuk membersihkan negeri ini dari korupsi akan terus menjadi harapan. Namun perlu diingatkan bahwa fungsi KPK bukan hanya di ranah penindakan. Ada kewajiban pencegahan juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar