Pergerakan harga minyak mentah bulan ini lebih banyak dimotori oleh faktor fundamental.
Sentimen kawasan Eropa menurunkan minat investor terhadap "emas hitam". Harga minyak bahkan sempat anjlok lebih dari 10 dollar AS hingga level 76 dollar AS per barrel pada 11 Mei 2010. Koreksi tajam ini dipicu oleh prospek negatif mengenai krisis utang Yunani.
Namun, basis fundamental pula yang mendorong reli minyak ke level 87 dollar AS pekan lalu. Grafik harga minyak menanjak di tengah kabar kebocoran tanker di Teluk Meksiko dan ketidakpastian regulasi pada sektor impor minyak mentah.
Meskipun diterpa berbagai kendala, kinerja minyak terbilang fantastis. Sejauh ini harga minyak mentah masih bertahan di atas 33 dollar AS per barrel sejak awal 2009. Harga minyak berjangka menguat 7 persen sepanjang 2009 berkat pemulihan ekonomi global secara bertahap. Kenaikan permintaan dari negara-negara non-OECD, terutama China, turut menopang harga.
Ancaman terbesar bagi kesinambungan minyak dunia adalah volume persediaan. Pasar dilanda kekhawatiran bahwa produksi minyak dunia telah memasuki titik jenuh. Penemuan sumber minyak baru diperkirakan sudah terhenti pada Mei 2005. Proyeksi ini memberi indikasi bahwa lambat laun produksi tidak bisa memenuhi permintaan global. Hingga kini pasokan minyak OPEC dan non-OPEC masih meningkat secara gradual. Dari sisi permintaan, kendati sempat berkurang pada 2009, permintaan minyak akan tetap menanjak selama ekonomi global tidak terganggu.
Pesatnya pertumbuhan ekonomi Asia mengalihkan fokus eksportir minyak dari kawasan barat ke belahan timur. OPEC memperkirakan permintaan minyak dunia akan naik menjadi 0,8 juta barrel per hari pada 2010. Sementara permintaan negara timur atau non-OECD diprediksi sebesar 1 juta barrel per hari atau dua kali lipat bila dibandingkan dengan tahun 2009.
Apabila diperhatikan dengan saksama, pergerakan minyak berjangka memiliki korelasi yang sangat kuat dengan kinerja pasar modal. Ketika saham dunia anjlok, minyak cenderung ikut terseret turun. Perhitungan terbaru menunjukkan bahwa korelasi harga minyak dengan MSCI World telah mencapai 82 persen. MSCI World merupakan indeks pasar modal yang terdiri dari 1.500 saham dunia dan dipakai sebagai standar ukur.
Karena keterkaitan itu, sektor komoditas ikut terkena imbas dari peristiwa kejatuhan indeks saham Amerika Serikat awal Mei. Dow Jones mengalami crash hampir 1.000 poin setelah merebaknya kecemasan akan penyebaran krisis Yunani ke zona Eropa.
Perkembangan isu menyebutkan bahwa akumulasi utang Eropa sudah mencapai 2 triliun dollar AS. Komoditas langsung terkena dampak dari minimnya likuiditas yang membalikkan arah pasar. Minyak dan bahan bakar bensin turun lebih dari dua digit seiring keterpurukan saham dunia. Tekanan semakin bertambah dengan munculnya ketakutan overheating pada ekonomi China.
Proyeksi harga minyak
Perbaikan ekonomi global terkini bisa mengangkat harga minyak lebih tinggi. Peluang ini terbuka karena kebutuhan investasi masih bisa diimbangi oleh pengalihan risiko. Kecemasan terhadap penularan resesi Eropa memicu arus modal berpindah ke aset dengan kategori aman di luar minyak. Tarik-menarik likuiditas seperti ini yang menyebabkan harga minyak tidak lagi dipengaruhi oleh faktor fundamental tradisional, seperti perubahan cuaca dan siklus bisnis.
Kebijakan suku bunga rendah dari Bank Sentral AS (The Fed) masih menopang komoditas minyak dalam uptrend. Sementara munculnya indikasi pemulihan ekonomi yang lebih baik dari perkiraan dapat memicu permintaan tinggi terhadap minyak baik dari emerging market maupun negara maju.
Jika skenario ini terbukti, akan ada risiko lonjakan harga minyak secara tiba-tiba. Gejala ini sesungguhnya sudah tampak ketika minyak berada di atas 85 dollar AS per barrel beberapa waktu lalu. Fluktuasi dipicu oleh rangkaian data ekonomi global, seperti pertumbuhan ekonomi dan aktivitas manufaktur China. Disusul oleh tingkat pengangguran AS yang terpantau rendah serta solidnya sentimen bisnis Jepang. Indikator-indikator ini menambah optimisme investor akan aktivitas industri yang pesat untuk memacu permintaan minyak.
Pasar komoditas juga harus mewaspadai katalis-katalis lain yang bisa meringankan harga minyak, misalnya isu pemanasan global yang mendorong peralihan teknologi ke mesin hemat bahan bakar dan pengembangan energi alternatif. Pelemahan mata uang tunggal euro dan koreksi saham bisa membebani minyak. Investor juga masih menunggu kejelasan atas pengetatan moneter China, termasuk perubahan regulasinya.
Berdasarkan analisa teknikal, minyak masih dalam fase koreksi dalam jangka pendek sebelum naik lebih lanjut. Rata-rata pergerakan minyak 200 hari (200 day moving average) berada di level 76 dollar AS per barrel. Pelemahan di bawah level 73,90 dollar AS seharusnya dapat memicu koreksi ke kisaran trading lebih dalam.
Suplai minyak OPEC dan non-OPEC yang naik secara gradual telah memenuhi tingkat permintaan sehingga aktivitas perdagangan di pasar minyak masih stabil dalam range bound. Kami memperkirakan harga pada level 66-95 dollar AS per barrel. Range ini lebih tipis dibandingkan dengan tahun 2009.
Sementara kami memprediksi rata-rata pergerakan minyak mendekati 80 dollar AS per barrel pada 2010. Proyeksi ini lebih tinggi dari harga rata-rata 2009 di 62 dollar AS per barrel, tetapi masih di bawah rata-rata tahun 2008 (sedikit di bawah 100 dollar AS per barrel).
Dengan mempertimbangkan analisa fundamental dan teknikal, pergerakan minyak masih akan terbatas dalam range bound. Namun, koreksi minyak akibat kekhawatiran krisis Uni Eropa dapat digunakan sebagai ajang buy on weakness untuk mengantisipasi kemungkinan technical rebound.
sumber:http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/05/14/08002723/Harga.Minyak.Bakal.Melonjak.Lagi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar